Jumat, 05 Juli 2013

Nama Saya Disebut Pada Judul Tulisan Pak Wiryanto Dewobroto

 

“Buset, nama saya terpampang dengan “vulgar” pada judul tulisan terbaru Pak Wiryanto! Wow!!”

He2.. Ya, kaget bercampur rasa penasaran yang pastinya. Dan tidak menyangka juga… :-) Penasaran, apa yang mendasari sosok sekelas Pak Wir membuat judul tulisan yang menjadikan nama saya pada salah satu judul tulisannya secara terang-terangan, tanpa tedeng aling. He2. Inilah yang saya rasakan dulu ketika pada Desember tahun 2010, Pak Wiryanto Dewobroto, salah satu dosen ahli ilmu struktur UPH (Universitas Pelita Harapan) yang terkenal di dunia maya (maupun nyata), memposting satu tulisan yang berjudul “tanggapan Untuk Made Pande”.

2013-07-04_202522

Selain kaget, terselip rasa bangga juga ternyata.. :-) Kenapa? Karena yang menulis tulisan bukanlah orang sembarangan, khususnya di dunia sipil. Beliau bisa dikatakan satu-satunya dosen (bergelar Doktor) Teknik Sipil di Indonesia yang sangat aktif di dunia maya yang rutin membuat tulisan-tulisan bermutu terkait dengan ilmu teknik sipil (terutama ilmu struktur bangunan). Penjelasan yang beliau paparkan bisa dikatakan sangat (kalau dalam bahasa komputer) “user-friendly”, sehingga saya banyak mendapatkan pencerahan tentang ilmu sipil dari tulisan-tulisan beliau. Beliau juga salah satu penulis buku-buku ilmu sipil bermutu yang mana bukunya selalu habis dimakan “rayap2 sipil”. :-) So, rasa bangga yang saya rasakan nampaknya bukan tanpa alasan yang kuat.. :-)

Dan tidak hanya itu saja, alasan beliau hingga membuat tulisan yang khusus untuk membahas ide pemikiran yang pernah saya sampaikan pada salah satu tulisannya adalah juga karena alasan yang tidak sepele. Kenapa? Itu karena apa yang saya tuliskan ternyata telah berhasil menjadi bahan pemikiran beliau. Seperti apa yang Pak Wiryanto katakan di bawah:

2013-07-04_203027

Tapi sayangnya topik yang dibahas bukanlah tentang ilmu sipil. He2.. Yah, cing cai lah.. :-) Yang terpenting dari suatu pemikiran tidak hanya isi pikiran, tetapi juga pola pikir-nya (yang bisa menghasilkan isi/ide pikiran yg unik). Isinya bisa saja tentang topik apa saja, tapi pola pikir yang berbeda pasti akan menghasilkan ide pemikiran yang berbeda. Mungkin ini yang menjadi suatu hal yang sangat menarik bagi Pak Wir. Nampaknya beliau (dalam kasus ini) belum pernah menemukan isi pemikiran yang pernah saya utarakan pada komentar di salah satu tulisannya. Mungkin pemikiran saya tentang topik itu bisa dikatakan agak nyeleneh, alias berlawanan dengan arus pemikiran mainstream.

Apa sih yang dibahas, mas?

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari apa yang pernah saya sampaikan pada salah satu komentar di tulisan beliau. Mungkin beliau baru kali itu mendapatkan komentar yang agak kontroversial yang berkaitan dengan “agama”. Ya, bisa dikatakan topiknya agak “berbahaya”. Tapi sebenarnya topik utamanya bukanlah soal agama. Topik utamanya adalah soal kondisi negara kita (NKRI) yang bermasalah, seperti banyaknya korupsi, pembangunan yang tidak merata, peradaban yang kalah maju dan “beradab” dibandingkan dengan negara2 lain, dsb. Pada tulisan beliau, Pak Wir melihat fakta dengan mata kepala sendiri bahwa peradaban bangsa Indonesia bisa dikatakan sudah tertinggal jauh dengan peradaban negara-negara tetangga (apalagi dengan negara Eropa, Jepang, Amerika, dll). Lengkapnya, silahkan baca di sini.

Loh kok bisa sampe ke agama, mas?

Yah, sekali lagi, setiap orang bebas berpendapat. Asalkan pendapatnya tidak ngawur dan tidak berusaha untuk menyudutkan suatu golongan atau pribadi tertentu. Pendapat yang saya utarakan terkait dengan “agama” di salah satu tulisan beliau saya rasa masih dalam batas kewajaran. Artinya, tidak ngawur dan tidak berusaha menyudutkan suatu golongan agama tertentu. Di sana justru saya lebih menekankan akan pentingnya pendidikan “budi pekerti”. Menjadi kontroversi karena saya mengkaitkan/membandingkannya dengan (pendidikan) agama.

Sengaja ya mas?

He2.. Kena deh.. :-) Bisa dikatakan begitu.. Kenapa? Karena ada esensi penting di dalamnya yang perlu/baik untuk dipahami oleh semua orang. Itu karena, sekarang ini banyak orang yang (saya katakan) “mabuk” agama namun orang tersebut tidak menyadarinya. Dimana-mana, yang namanya mabuk itu pasti memiliki efek samping negatif. Saat ini pun, “wajah” agama tidak lagi menjadi sesuatu yang “mendamaikan”, tapi justru berpotensi untuk merusak harmoni kehidupan dan rentan dimanfaatkan oleh sekelompok orang-orang tertentu untuk meraih keuntungan pribadi dan golongan.

Secara tidak disadari, agama dapat menciptakan penyakit kepribadian seperti berikut:

a. Merasa paling benar dan yang lain adalah salah. (Sumber pertengkaran)

b. Tidak berupaya secara kritis untuk memahami fenomena kehidupan, karena segala sesuatu yang dianggap di luar nalar manusia dianggap sebagai suatu kuasa Tuhan yang tidak mampu dijangkau oleh akal manusia. (Berhenti bertanya: Kenapa begini? Kenapa begitu? Bagaimana jika begini? Bagaimana jika begitu? dsb)

c. Sukar untuk membuka diri dan menerima perbedaan pemahaman. (Bertentangan dengan teori ilmiah yang bisa direvisi kapan saja jika ditemukan bukti2 baru)

d. Memandang rendah orang lain hanya karena perbedaan agama (diskriminasi sosial)

e. Berbuat kebaikan karena ancaman neraka dan iming2 surga. (bertindak baik tidak didasari oleh hati nurani)

Ada yg mau menambahkan? :-)

Pasti ada efek positifnya juga dong mas?

Ya, tentu saja ada. Selain efek negatif, efek positifnya tentu saja ada, dan mungkin lebih banyak lagi. Contohnya, bagi beberapa orang yang belum bisa mengontrol hidupnya dengan baik, agama bagaikan sabuk pengaman yang mampu menjaga dirinya agar tidak terjerumus pada jurang kegelapan/kejahatan. Bahkan agama juga mampu memberikan semangat hidup (dan kepercayaan-diri) bagi orang-orang yang hidupnya kurang beruntung (entah terlahir cacat, miskin, dll.).

Jadi, poin-poin negatif yang saya sebutkan di atas adalah efek negatif yang akan dialami oleh seseorang jika seseorang beragama tanpa mengedepankan akal sehatnya dengan baik. Sehingga, yang terpenting bagi saya adalah bukan pada agamanya, namun bagaimana akal sehatnya mampu mengendalikan dirinya untuk tetap bertindak bijaksana serta dapat menghasilkan kebajikan untuk sesama manusia tanpa memandang “kulit” seseorang. Akal yang sehat/baik akan membawa kita pada pemahaman yang baik pula terhadap kehidupan, melakukan dan tidak melakukan sesuatu bukan semata-mata karena dogma agama semata, namun karena pemahamannya terhadap hukum kehidupan (pemahaman bagaimana dunia berjalan berdasarkan fakta/realita).

Loh? Memangnya ada pemahaman agama yang tidak berdasarkan realita, mas?

Banyak. :-) Contohnya: Anggapan bahwa bencana alam disebabkan karena dosa manusia. Benarkah demikian? Bagi saya tidak. Cara membuktikannya? Simpel. Perhatikan dengan baik, tempat prostitusi “Gang Dolly” di Surabaya yang juga adalah salah satu pusat prostitusi terbesar di Asia. Bisa dikatakan di sana adalah pusatnya “dosa seksual”. Sampai sekarang, adakah lokalisasi Gang Dolly luluh lantak akibat gempa ataupun bencana alam lainnya? Tidak. Juga Las Vegas yang katanya adalah kota judi dunia hingga dijuluki sebagai “Sins City”. Sampai sekarang masih aman2 saja berdiri dan beroperasi. Lalu, Kota Bangkok dan Pattaya yang terkenal dengan penduduk waria-nya, negara Belanda dengan pelegalan pernikahan sesama jenisnya, dll. Sesuatu yang dianggap dosa oleh agama, justru pada realitanya terhindar dari serangan bencana alam. Jadi, masih masuk akal-kah anggapan bahwa bencana alam terjadi adalah akibat dosa manusia? Menurut akal sehat saya berdasarkan realita yang ada adalah tidak.

Ya ya ya… Iya juga ya.. Apa ada lagi mas?

Saya katakan, banyak. Contoh lainnya mungkin tidak semua orang akan siap menerima/ mendengarnya. Cukup yang siap saja yang tahu. :-)

Lalu hubungannya dengan pendidikan budi pekerti apa ya mas?

Ya jelas. Mandegnya perkembangan peradaban manusia adalah berkaitan dengan berkembangnya efek2 negatif yang saya sebutkan di atas. Jika pada pendidikan agama selain membawa efek positif juga dapat membawa efek negatif, namun berbeda dengan pendidikan budi pekerti. Bisa dikatakan efek negatif dari pendidikan budi pekerti itu tidak ada. Pendidikan budi pekerti murni mengajarkan nilai2 kebaikan (yang dirangkum dari semua ajaran agama yang ada). Dan dapat diajarkan serta berlaku kepada semua orang tanpa memandang agamanya apa, dsb. Pendidikan budi pekerti murni mengajarkan etika dan moral/akhlak yang berlandaskan nilai2 kemanusiaan, kesetaraan, serta keadilan. Sehingga, dapat majunya peradaban manusia adalah ketika hilangnya efek2 negatif yang telah saya sebutkan di atas. Untuk tulisan pendukung tentang hal ini, di bawah saya berikan contoh tulisan dari orang lain.

2013-07-04_225727

Tulisan pada blog kompasiana tersebut ditulis pada tanggal 26 Agustus 2012. Sedangkan saya menuangkan ide pemikiran ini di blognya Pak Wiryanto pada tanggal 20 Desember 2010. Jadi, bisa dikatakan saya tidak menjiplak ide pemikiran tulisan di atas ya. :-)

Lalu apakah ada contoh negara maju yang masyarakatnya tidak mementingkan agama, mas?

Ada. Contohnya adalah negara Jepang. Mayoritas penduduk negara Jepang adalah tidak beragama. Namun mereka memiliki tuntunan hidup berupa ajaran etika dan budi pekerti yang diajarkan secara turun-temurun. Untuk mengenal lebih jauh tentang kebudayaan Jepang, anda bisa membacanya di blog menarik berikut:

2013-07-05_001608

Kembali lagi pada tulisannya Pak Wiryanto yang menyinggung nama saya. Sayangnya saya tidak menanggapi tulisan Pak Wiryanto dengan cepat. Malah bisa dikatakan sangat lambat sekali. Ada kira-kira setahun lamanya saya baru menanggapi tulisan Pak Wiryanto (pada komennya). Sungguh keterlaluan memang.. <:-) Maafkan saya ya, pak.. Mungkin itu yang menyebabkan komen saya tidak dibalas/ tidak ditanggapi oleh Pak Wir. Atau bisa jadi Pak Wir tidak ingin berpolemik lebih jauh tentang topik tersebut. Tidak apa-apa, saya bisa memakluminya. :-) Namun terlepas dari itu semua, saya mengucapkan banyak terima kasih karena sudah mencantumkan nama saya pada judul tulisan bapak. Adalah suatu kebanggaan bagi saya untuk bisa hadir dalam sejarah list judul tulisan blog bapak. :-)

2013-07-05_003534